AUTISME BUDAYA TRADISIONAL DIANTARA BUDAYA POP
Bangsa kita, mau
tidak mau harus diakui adalah bangsa yang latah, bangsa pelahap budaya budaya
asing mungkin tidak hanya budaya tapi juga brand brand luar seperti tas,
sepatu, pokoknya fashion. Bahkan kini sampai kepada dunia musik, dimana jenis
musik K-pop yang sedang mewabah yang melahirkan anak anak muda yang
“memaksakan” diri mengubah image menjadi “anak muda korea”.
Bukan sesuatu yang
luar biasa lagi masyarakat Indonesia memang begitu mengagungkan apa saja yang
berlabel asing, penyakit ini namanya xenosentrik (xenosentric), yaitu pemujaan
yang luar biasa terhadap sesuatu yang berlabel asing. Mungkin ada pengaruhnya
dengan pemerintah yang tidak punya konsep yang jelas dalam pengelolaan dan
pengembangan kebudayaan.
Sekarang euforianya
lagi menggila demam dance ala boyband korea, dulu sempat booming film india,
telenovela ala Negara brazil, belum lagi budaya komedi slapstick yang entah
diimpor dari mana. Rasanya hampir tak ada yang membahas mengenai seni budaya
lukis, teater, tayangan documenter tentang budaya etnis daerah yang menarik.
Hampir tak pernah ada.
Dalam masyarakat
sekarang ini dimana MTV lebih keren dibanding karawitan atau tortor, Mc Donalds
atau KFC lebih menjadi pilihan untuk mengisi perut yang kosong ketimbang ayam
goreng Mbok Berek atau Suharti, Kopi starbuck lebih dianggap mewakili gaya
hidup dibandingkan kopi luwak atau kopi sidikalang, belum lagi mall mall yang
menjamur menggilas keberadaan pasar pasar tradisional seperti beringhardjo di
Yogyakarta, atau pasar klewer di Solo.
Ideologi gaya hidup
alias imagology
Imalogoly alias
ideology gaya hidup semacam ini menghasilkan system keyakinan baru, contoh
kecil, mengapa masyarakat Indonesia berlomba lomba membeli krim pemutih agar
terlihat mirip kulit orang eropa padahal orang eropa sendiri sangat menyukai
kulit coklat alias sawo matangnya asia, dimana mereka rela berjemur berjam jam
untuk mendapatkan kulit coklat yang lazim disebut tanning.
Belum lagi para kaum
lelaki zaman sekarang, yang mulai mengarah ke gaya hidup metroseks, padahal
perempuan justru merasa tersaingi kalau ada pria yang jauh lebih memperhatikan
penampilan ketimbang perempuan sendiri, termasuk bergaya ala boyband, anehnya
kalau boyband korea meskipun mereka metroseks tapi body language mereka tetap
macho dan laki laki, beda dengan orang Indonesia yang memaksakan style ala
boyband korea, jatuhnya malah jadi mirip “maaf”, bencong.
Budaya pop, yang mengajarkan
“ideology” gaya hidup seperti ini jelas telah melahirkan kontradiksi diametral
antara masyarakat modern dan “masyarakat lapar”, yang samasekali tidak punya
kesempatan untuk mengikuti mainstream dunia imagology. Sebab kebutuhan dasar
bagi masyarakat yang tidak mampu hanya lebih kepada bagaimana cara mereka untuk
tetap bisa bertahan hidup. Disinilah jelas terlihat kesenjangan itu, seperti
beberapa sosialita yang rela membeli tas berharga milyaran rupiah demi
aktualisasi dan eksistensi diri, maka disisi lain ada masyarakat yang uang
sepuluh ribu aja akan disyukuri karena masih bisa makan, sembari berpikir
“Besok masih bisa makan tidak ya?”
Budaya pop melahirkan
konsumerisme
Bedanya cara pandang
Indonesia terhadap budaya sendiri berbeda dengan cara bangsa luar menghargai
budayanya sendiri. Contoh nyatanya di London terminal bus Victoria yang tua itu
tetap dipertahankan di pusat kota yang padat dan pembangunan gedung gedung baru
harus tetap dipertahankan dipusat kota yang padat dan pembangunan gedung gedung
baru harus dilakukan diwilayah perluasan kota, di padang terjadi sebaliknya,
terminal bus lintas andalas yang bersejarah itu digusur oleh penguasa kota dan
diganti dengan mall, alasannya sudah tua dan bikin macet, meskipun pada
akhirnya setelah digusur terminal itu macetnya toh juga tidak berkurang.
Iklan turut
mempengaruhi kehausan Indonesia anak westernisasi atau amerikanisasi atau
apalah namanya, namun coba lihat iklan iklan yang dikonsep menarik itu semua
arahnya kepada modernisasi yang meninggalkan dunia tradisional yang berbau
kapitalis. Seperti Mc D, KFC, coca cola, semua memperlihatkan sesuatu yang
“instan dan manis”, seolah hidup tak butuh proses. Maka pada saat imagology
menjadi terasa lazim dan normal, itu tidak lagi hanya sekedar wacana. Benar
benar sudah berada disamping kita, menjadi sesuatu yang tanpa sadar sudah kita
anut.
Dari sinilah
konsumerisme kemudian lahir, industry dan penyampaian informasi yang cepat dari
iklan terutama telah mengajari kita menjadi masyarakat “latah”
Saat orang memaksa
harus memakai Blackberry, padahal mungkin dia hanya membutuhkannya untuk
sekedar menerima dan menelpon. Itulah konsumerisme, saat fungsi tak lagi
penting, dan digantikan oleh sesuatu yang bernama gengsi dan sebagainya.
Autisme budaya
tradisional diantara gempuran budaya pop
Cukup diakui bahwa
serangan gempuran kebudayaan asing memang cukup menohok kebudayaan Indonesia,
salah satunya yang pasti lagi trend saat ini adalah kebudayaan K-pop yang kian
digandrungi dikalangan anak muda, sementara nasib kesenian tradisional kita
terpinggirkan. Meski sebenarnya budaya tradisional yang dimiliki bangsa
Indonesia tidak kalah menarik dibanding budaya bangsa lain, namun karena tidak
diperkenalkan dengan serius jadinya
"Kesenian
tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia sebenarnya sangat banyak, namun
tidak banyak yang dikenal masyarakat. Akibatnya, anak-anak muda sekarang ini
justru banyak melupakan kesenian tradisional," katanya.
Ia mengatakan
serangan kebudayaan asing sekarang ini kian mengkhawatirkan, seperti Korea
Selatan dengan "K-Pop" yang saat ini kian digandrungi kalangan anak
muda, sementara nasib kesenian tradisional kian terpinggirkan.
Anehnya Indonesia
selalu marah kalau kebudayaan tradisionalnya sudah diklaim oleh bangsa asing,
namun samasekali tidak pernah ada langkah proteksi dan pelestarian atas potensi
kebudayaan khas yang dimilik bangsa Indonesia.
Upaya pelestarian terhadap budaya
tradisional
Sebagai bangsa yang
memiliki beragam budaya tradisional yang sebenarnya sangat menarik dan unik,
kita tentu tidak rela melihat bangsa kita begitu saja mengalami keterpurukan
atas gempuran budaya budaya asing, paling tidak kita tentu berharap generasi
setelah kita masih bisa menikmati nilai nilai dari kebudayaan dan produk produk
asli bangsa kita sendiri.
Dimulai dari
perlindungan terhadap asset budaya itu sendiri agar tidak punah, lalu diadakan
pengembangan penelitian, kajian laporan, pendalaman teori kebudayaan serta
sosialisasi terhadap budaya tradisional itu sendiri, mungkin perlu adanya
kegiatan yang dikemas dalam bentuk penyuluhan kebudayaan, festival maupun
penyebaran informasi. Dan yang paling penting adalah dokumentasi sejarah
tentang budaya tradisional jangan sampai tercecer.
Cara melestarikan
kekayaan budaya sebetulnya merupakan cara kita bagaimana budaya tradisional
bisa kita pahami dan kita cintai untuk memperkokoh ketahanan budaya bangsa
serta meningkatkan rasa cinta terhadap budaya tradisional kita sendiri.
Memang tidak mudah menjauh dari
kebiasaan untuk mengkonsumsi makanan makanan fast food, misalnya yang sudah
menjamur dan sangat mendarah daging ditengah masyarakat, namun tetap harus disosialisasikan
makanan “lokal” seperti makanan tradisional, karena siapa tahu anak anak muda
tidak pernah tahu bagaimana rasanya gudeg atau rica rica karena sebenarnya
tidak pernah diperkenalkan.
Selektif memilih budaya budaya asing
yang harus diikuti, bukan berarti menolak. Tapi lebih kepada menseleksi mana
budaya yang pantas untuk diikuti dan mana yang tidak sehingga tidak merusak
nilai nilai kebudayaan yang telah kita jaga dan lestarikan.
Dalam RUU
Perlindungan Pengetahuan Tadisional, dan Ekspresi Budaya Tradisional yang
diajukan oleh IACI (Indonesian Cultural Heritage State License), terdapat pasal
yang mengatur definisi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional
serta pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional,
terutama oleh pihak asing. RUU Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dapat menjawab keraguan
akan perlunya UU yang dapat melindungi Pengetahuan dan Ekspresi Budaya
Tradisional karena dengan jelas mendefinisikan Pengetehuan Tradisional dan
Ekspresi Budaya Tradisional dan menjembatani perbedaan konsep kepemilikan
intelektual dengan kepemilikan pada Pengetehuan Tradisional dan Ekspresi Budaya
Tradisional, yang dalam hal ini akan dimiliki oleh negara lewat sebuah lembaga
(adat). Selain itu, penggunaan Pengetahuan Tradisonal dan Ekspresi Budaya
Tradisional oleh warga negara Indonesia untuk penelitian, pendidikan, dan
pertunjukan yang tidak komersil dapat menggunakan langsung tanpa persetujuan
lembaga tersebut sehingga budaya indonesia dapat terus berkembang.
Comments