"Study Banding" DPR kembali permalukan bangsa
Lagi, lagi dan lagi, seperti
tak pernah bosan mengulangi “travelling”nya yang oleh para anggota dewan
ini sengaja ditutupi dengan bahasa paling sopan “kunjungan kerja” atau “study
banding”, lagi lagi DPR membuat publik geram, rasanya bukan hanya sekali
duakali atau bahkan berkali kali, sudah puluhan kali rasanya anggota DPR
membuat agenda agenda “pelesiran” berkedok kunjungan kerja dengan hasil nyata
yang tidak pernah terlihat samasekali, kecuali upload photo para anggota dewan
terhormat ini sedang belanja dimana, atau sedang menikmati liburan dimana.
Toh masyarakat sudah tidak buta lagi melihat semua kenyataan
yang ada, masyarakat sudah hafal dengan wisata berkedok “study banding” ini,
terakhir yang paling disorot saat ini adalah kunjungan kerja ke Inggris dan
Jerman dengan dalih ingin mengetahui dan mempelajari lebih banyak lagi perihal
RUU Keinsinyuran.
Yang namanya study banding, kunjungan kerja, study tour,
atau apapun itu istilahnya, pasti akan tetap menyita perhatian publik, karena
sepanjang sejarah diberlakukannya “study banding” DPR tidak pernah ada hasil
atau agenda yang jelas terlihat manfaatnya, malah lebih sering menjadi
gunjingan “internasional” karena ulah para anggota dewan yang kadang “nyeleneh”
atau bahasa inggris yang kacau balau, hal yang sangat mudah ditemukan pada saat
“kunker”, agenda yang hampir selalu ada itu.
Seiring dengan seringnya “study banding” ini menuai kritik
publik, sempat diwacanakan akan dibuat moratorium (penghentian sementara)
kunjungan kerja ke Luar Negeri, tapi sepertinya hal tersebut hanya tinggal
menjadi wacana saja, karena kembali lagi Jerman dan Inggris kali ini yang
menjadi tujuan “study banding” anggota DPR yang pada akhirnya dengan terpaksa Marzuki Alie mengakui bahwa
kepergian para anggota dewan yang terhormat ini hanyalah sekedar pelesiran dan
foya foya.
Dengan alasan demi mengkaji
UU keinsinyuran, Badan Legislatif (Baleg) DPR –RI, Baleg membagi team
menjadi dua kelompok untuk mengkaji UU Keinsinyuran tersebut.
Wakil ketua Baleg sekaligus ketua delegasi ke Inggris,
Dimyati Natakusuma berdalih bahwa kunker ini adalah untuk mempelajari
sistematika UU Keinsinyuran yang ada di Jerman karena Jerman sudah memiliki
system UU keinsinyuran yang sudah baku. Kembali menurutnya UU Keinsinyuran ini
sangat penting untuk mengatasi mark up seperti yang terjadi di kasus Hambalang
dan kasus didaerah daerah lain.
“Study banding” sebelumnya juga pernah dipimpin oleh Dimyati
ke Denmark yang berkedok “Study banding logo palang merah”, dengan dalih
merumuskan tujuan logo palang merah yang pas untuk Indonesia karena alasannya
perdebatan di Baleg tidak selesai selesai mengenai logo karena ada yang memilih
logo bulan sabit merah, ada yang minta logo red cross. Study banding yang
menelan biaya 1,2 milyar itupun tidak menuai hasil.
Dalam kunker kesempatan ini terbagi dalam dua bagian, 12
orang anggota DPR ke Inggris yang ketuai oleh Dimyati Natakusuma dari Fraksi
PPP, sementara ke Jerman dipimpin oleh Sunardi Ayub dari fraksi Hanura.
Adapun dari kedua tim tersebut yang berangkat ke Inggris
antara lain Dimyati natakusuma selaku ketua delegasi (Fraksi PPP), Mayjend
Ignatius Mulyono (Demokrat), Guntur Sasono (Demokrat), Didin Irawandi
Syamsuddin (Demokrat), Khatibul umam wirana(Demokrat), Taufiq Hidayat (Golkar),
Nurul Arifin (Golkar), Bukhori Yusuf (PKS), Taslim (PAN), Zainut Tauhid Sa’adi
(PPP), Abdul Malik Haramain (PKB), sementara yang berangkat ke Jerman adalah
Sunardi Ayub (Hanura) sebagai ketua delegasi, Nanang Samodra (Demokrat),
Ferdyansyah (Demokrat), Ali wongso H Sinaga (Golkar), Indra (PKS), Abdul Hakim
(PKS), Chairul Naim M Anik (PAN), dan Djamal Azis dari Hanura.
Marzukie Ali sendiri selaku ketua DPR terpaksa “menjilat
ludahnya” sendiri mengakui bahwa kepergian para anggota dewan itu memang untuk
“wisata tour”, “foya foya”, setelah sebelumnya sempat mengecam tindakan PPI
Jerman yang disebutnya seperti maling dan tidak mencerminkan diri sebagai orang
yang berpendidikan tinggi di luar negeri.
Adapun video unggahan PPI Berlin sendiri memperlihatkan
secara nyata betapa noraknya anggota dewan dan betapa jauhnya bentuk pertemuan
itu dari professional.
Ribut ribut dengan bahasa sendiri didepan mitra dan tuan
rumah sangat menjatuhkan nama anggota dewan sebagai seseorang yang harusnya
memiliki sopan santun ditingkat internasional, bahkan konyolnya, ada yang
datang terlambat.
Temuan PPI di Jerman: aksi “Berani malu” anggota dewan
Tujuan anggota dewan datang adalah dengan maksud membuat RUU
tentang keinsinyuran, namun yang ditemui oleh pantauan Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI) Berlin yang mengikuti jalannya pertemuan itu bahwa anggota DPR
mengunjungi Deustsches Institut fur Normung (DIN), atau lembaga standarisasi
Jerman pada 19/11/2012. Perlu diketahui bahwa DIN sendiri bukanlah lembaga atau
pemerintahan.
Dan inilah yang dilakukan oleh anggota DPR yang
melakukan “kunker”, dimana informasi
yang mereka gali adalah informasi yang bersifat umum mengenai aktivitas DIN di
Jerman dan Eropa, sejarah terbentuknya DIN, Prosedur kerja DIN dan hubungannya
dengan kebijakan pemerintah Jerman, terutama dibidang Sains dan Teknologi.
Kunjungan ke DIN Sendiri tidak berhubungan samasekali dengan RUU Keinsinyuran
karena DIN tidak mengatur profesi/individu perihal keinsinyuran itu sendiri,
melainkan DIN adalah produk dan proses dari berbagai bidang keteknikan di
Jerman.
Anggota DPR sempat menanyakan apakah ada hukuman didasari
oleh legislasi kepada pihak tertentu untuk proyek yang gagal dibidang
keteknikan seperti di bidang konstruksi, namun hal tersebut tidak dijawab oleh
DIN Karena bukan kapasitas DIN untuk menjawab, alasannya karena banyak faktor
yang mempengaruhi kegagalan suatu proyek, selain itu menurut pihak DIN, sanksi
untuk kegagalan proyek itu sendiri bukanlah sesuatu yang didesain secara
absolut.
Karena tidak ada hubungannya, dialog antara anggota Baleg
dengan perwakilan DIN menjadi terkesan hanya sebuah basa basi dan membuang
waktu.
Seandainya saja pertemuan itu direncanakan secara cermat dan
dengan perencanaan yang tepat, bukan tidak mungkin pertemuan itu akan menghasilkan
sebuah hasil yang komprehensif.
Seharusnya anggota DPR berkunjung kepada institusi yang
berkaitan langsung dengan penanganan UU Keinsinyuran tersebut.
UU Keinsinyuran dan profesi keinsinyuran masing masing
diurus oleh Negara bagian, namun semua UU itu memiliki dasar yang sama dalam
pengakuanprofesi insinyur yakni system pendidikan tinggi.
Adalah IASI, yang merupakan para ekspatriat Indonesia yang
ada di Jerman, yang terdiri dari peneliti, para ahli serta pengusaha yang ada
di Jerman yang sebenarnya bisa dimintai bantuan oleh DPR untuk memberi masukan
dalam rangka merumuskan RUU Keinsinyuran Indonesia.
IASI sudah berdiri sejak tahun 1976, merupakan organisasi
yang berdiri resmi dan diakui oleh pemerintah Jerman dengan tujuan utama untuk
riset, teknologi, pendidikan dan bisnis dimana sekaligus menjadi jembatan
terhubungnya kerjasama yang baik antara Indonesia dengan Jerman.
IASI juga mampu melakukan kajian yang mendalam mengenai UU
keinsinyuran di Jerman yang dapat menjadi masukan dalam membantu RUU
Keinsinyuran di Indonesia maupun peningkatan kemampuan insinyur dalam negeri.
Dari pihak ketua
persatuan insinyur Indonesia sendiri, Said didu mengaku bahwa pilihan ke Jerman
dan Inggris sendiri sebenarnya sangat tepat, karena Jerman termasuk Negara yang
mampu membangun industry dan kesejahteraan rakyatnya dengan basis insinyur dengan baik, sementara Inggris hampir semua
standar insinyurnya sama.hanya saja Indonesia memiliki perbedaan yang cukup
kontras dari Negara lain dalam hal system dan tata kelola pemerintahan, tata
hukum juga struktur sosial budaya.
Dalam temuannya selama presentasi DPR di DIN, PPI mungkin
punya sikap senada dengan Ahok yang mengatakan bahwa study banding kalau hanya
untuk UU adalah tindakan yang mubazir dan membuang waktu, ada banyak akses
informasi yang bisa didapat dari internet atau fasilitas youtube, web, email,
seminar melalui internet, atau kalaupun harus mengirimkan orang, cukup satu
atau dua orang saja yang kompeten, tidak perlu membawa belasan orang. Konon
katanya biaya “study banding” ini menghabiskan dana sekitar 2,3 milyar.
Comments