KONFLIK AGRARIA SEMAKIN MEMANAS, 100 AKADEMISI BUAT PETISI


Aku dan Ann Davis, Jurnalis Jakarta Globe
Beberapa tahun terakhir, kasus konflik agraria terus meningkat. Badan Pertahanan Nasional (BPN) menyatakan, ada sekitar 8.000 konflik pertahanan belum terselesaikan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan sekitar 1.700 konflik agrarian, Sawit Watch menyebutkan sekitar 660 kasus diperkebunan sawit. Begitu juga Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan konflik agrarian sektor perikanan sepanjang 2012 melibatkan sekitar 60 nelayan.
Kriminalisasi dan kekerasan terhadap petanipun terjadi mengiringi konflik konflik agrarian ini. Tahun lalu, sekitar 156 petani ditahan tanpa proses hukum yang benar, 55 orang mengalami luka luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tiga orang tewas.
“Respon pemerintah terhadap konflik dan kekerasan oleh aparat keamanan sangat lambat, tidak memadai dan tidak memuaskan”, kata Myrna A Safitri, Direktur Epistema Institute juga salah seorang penggagas petisi.
Menyikapi masalah ini, kata Myrna, sejumlah 140-an pengajar, peneliti dan pemerhati studi agraria di Indonesia menyampaikan keprihatinan terhadap masalah ini. Dalam Diskusi Pakar bertema MEMBANGUN INDONESIA DENGAN KEADILAN AGRARIA, kamis, 7 Februari 2013 di Hotel Bidakara Jakarta, mereka menyampaikan surat terbuka kepada Presiden. Dalam diskusi ini dibentuk Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria yang diketuai oleh Dr. Soeryo Adiwibowo.
Prof Maria Sumardjono mengusulkan agar presiden segera menyelesaikan konflik agrarian. Konflik-konflik agrarian yang masif dan berdampak luas merupakan peristiwa luar biasa. Untuk itu presiden perlu membentuk sebuah lembaga independen untuk penyelesaian konflik itu secara tuntas dimana diperlukan kemauan politik yang nyata untuk membentuk lembaga tersebut.
Para akademisi berpendapat, konflik agrarian selama ini karena beberapa faktor antara lain karena reformasi hukum dan kebijakan komprehensif yang belum dilaksanakan. Setidaknya ada empat hal yang mengindikasikan situasi ini. Pertama, ada beberapa ketentuan dalam UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, Ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan tentang sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Ketiga, ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan SDA dan lingkungan dengan peraturan yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Keempat, banyak peraturan daerah bersifat eksploitatif dan bermotif kepentingan jangka pendek.
Lalu faktor kebijakan dan praktek penerbitan izin, khusus bagi usaha skala besar selama ini belum mengindahkan prinsip hukum dan tata kelola yang baik, sarat korupsi, tidak mengakui hak hak masyarakat hukum adat dan masyarakat local. “Juga petani dan nelayan, terutama mereka yang tidak bertanah serta membatasi akses mereka terhadap tanah dan SDA”, kata Prof Endriatmo Sutarto.
Faktor lain, katanya, terdapat konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang atau badan hukum yang mengakibatkan kesenjangan penguasaan dan pemilikan tanah menjadi lebar, kata Dr Soeryo Adiwibowo. Begitu pula ada sejumlah perjanjian investasi dan perdagangan bilateral dan multilateral berseberangan dengan semangat keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup.
Konflik agrarian pun makin akut karena penyelesaian lebih mengedepankan legal formal. Konflik tidak terdeteksi secara dini karena belum penanganan pengaduan oleh pemerintah daerah belum optimal. Konflik sudah bereskalasi karena tindak kekerasan aparat keamanan yang seharusnya berdiri diatas segala pihak justru melindungi kepentingan pemodal. “Dengan cara yang patut diduga bekerjasama dengan perusahaan perusahaan besar untuk menguasai tanah atau SDA masyarakat “ kata Dr Satyawan Sunito dari IPB.
Para pakar ini sepakat untuk sustainable economic growth atau pembangunan berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan pelestarian fungsi lingkungan hidup tidak akan mencapai jika konflik agrarian tidak diselesaikan atau penyelesaian dengan cara cara represif.
Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria terdiri dari pengajar, peneliti dan pemerhati study agrarian. Mereka menyampaikan sejumlah usulan perbaikan kepada Presiden. Diantaranya adalah melaksanakan seluruh amanah ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara konsisten.
Para anggota Forum meminta Presiden memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI mengusut tuntas tindak kekerasan oleh aparat Polri/TNI terhadap masyarakat dan aktivis LSM. Juga menghentikan penggunaan cara cara kekerasan oleh aparat dan membebaskan aktivis LSM warga masyarakat hukum adat, petani dan nelayan yang saat ini ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian.
Gerakan akademisi ini bersifat independen, sukarela dan semata mata didasarkan pada tanggung jawab sosial untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejumlah guru besar yang bergabung dalam gerakan ini antara lain Prof Soediono Tjondronegoro, Prof Gunawan Wiradi, Prof Maria Sumardjono, Prof Hariadi Kartodihardjo. Demikian pula mendukung aktif gerakan ini sejumlah dosen, peneliti dari LIPI dan lembaga penelitian lain.

Comments

Popular posts from this blog

DESA SIMARMATA TERCINTA

Namaku Meyrist

YOGYAKARTA