Penandatanganan petisi AMAN dengan DPRD Malinau, Kalimantan Utara
Ketua DPRD Malinau Marthin Labo, Sekjen AMAN Abnor Nababan, Mantan Komnas HAM Jhonny Simanjuntak
Keberadaan dan nasib masyarakat
di Indonesia hingga saat ini masih jauh dari pengakuan dan perlindungan dari
para pemangku kekuasaan dan Negara. Yang terjadi justru sebaliknya dimana
pemerintah lewat kementerian kementeriannya bersama pemerintah daerah justru
memberikan ijin konsesi kepada perusahaan perusahaan skala besar tanpa
melakukan sosialisasi serta meminta persetujuan lebih dulu dari masyarakat adat
yang telah mendiami dan menguasai wilayah-wilayah peruntukan konsesi tersebut.
Masyarakat adat, sebagaimana kita tahu dapat dipastikan sudah berdiam di
wilayah konsesi itu secara turun temurun, bahkan jauh sebelum Republik
Indonesia ini diproklamirkan.
Dalam beberapa kasus, antara
kementerian terkait seperti misalnya Kehutanan, KLH, Pertanian, BPN dan
Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Bupati justru saling melempar tanggung
jawab. Sementara disisi lain para anggota DPRD sebagai representasi masyarakat
yang seharusnya berpihak pada suara para pemilihnya dimana seharusnya bekerja
memantau kinerja dan kebijakan bupati. Namun kenyataannya sebagaimana yang
sudah sering kita lihat dilapangan bahwa yang terjadi adalah para anggota DPRD
ini justru sering menjadikan bupati sebagai tameng untuk kepentingan
kepentingan perusahaan perusahaan pemegang izin konsesi tersebut. Dimana
kondisinya di lapangan acapkali izin perkebunan skala besar, tambang atau Ijin
Usaha Pengelolaan Hutan Kayu (IUPHHK) mendapatkan perlawanan dari masyarakat
adat dan akhirnya memicu terjadinya konflik berkepanjangan yang sangat
merugikan masyarakat, dalam hal ini khususnya masyarakat adat.
Setelah penandatanganan petisi |
Adapun produk hukum Indonesia
sendiri sampai hari ini belum akomodatif terhadap tuntutan tuntutan yang ada,
yang selalu disuarakan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat. Memang, pada
saat ini DPR-RI terutama Badan Legislasi-nya tengah menggodok satu rancangan undang undang tentang
pengakuan dan perlindungan hak hak masyarakat adat. RUU ini yang diharapkan
oleh kelompok masyarakat adat di seluruh nusantara sebagai salah satu
undang-undang yang akan membuat pengakuan dan perlindungan konstitusional
masyarakat adat “mewujud” di dunia nyata.
Disamping Kabupaten Lebak dan
Kabupaten Kampar, Kabupaten Malinau adalah salah satu Kabupaten di Propinsi
Kalimantan Utara- Propinsi yang baru terbentuk beberapa waktu lalu, juga telah
mengambil inisiatif untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap
masyarakat adat. Pada tahun 2012 DPRD Malinau berinisiatif untuk menyusun
Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat
Kabupaten Malinau yang kemudian disahkan pada akhir tahun 2012.
Tidak hanya berhenti ditahap itu,
DPRD Kabupaten Malinau juga merasa bahwa perda itu masih harus didukung dengan
peraturan lain dalam membangun pertahanan yang kuat untuk membentengi hak-hak
masyarakat adat dari serbuan investasi di masa depan yang bisa mengancam
ketahanan pangan masyarakat adat di Kabupaten Malinau. Karenanya DPRD Malinau
ingin agar ada peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan lahan-lahan
potensial untuk perkebunan dan pertanian bagi masyarakat adat di Kabupaten
Malinau. Selain itu DPRD Kabupaten Malinau juga merasa perlu untuk menyusun
peraturan yang berkaitan dengan lembaga adat di Kabupaten Malinau.
Untuk memulai usahanya tersebut
DPRD Kabupaten Malinau mengajak Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk
bekerjasama dalam rangka melakukan kajian yang diarahkan untuk menyusun kedua
peraturan daerah dimaksud diatas. Untuk kepentingan itu, AMAN dan DPRD Malinau
telah melakukan diskusi diskusi awal terkait dengan gagasan tersebut.
Penandatanganan nota kesepahaman
tersebut diadakan di PB AMAN yang ditandatangani langsung oleh ketua DPRD
Malinau, Marthin Labo dan Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan, turut
disaksikan oleh mantan anggota KOMNAS HAM, Jhonny Simanjuntak.
Comments